Senin, 17 Oktober 2011
In:
kesehatan
Bahaya Pemasangan Kawat Gigi Sembarangan
Pemasangan bracket pada gigi atau yang lebih dikenal dengan kawat gigi alias behel adalah sebuah cara yang saat ini lazim dipakai untuk memperbaiki susunan gigi yang tidak rapih. Tapi tidak banyak orang yang tahu apalagi sadar bahwa penggunaan kawat gigi tidak hanya berhubungan dengan asal gigi rapih (estetika). Lebih dari sekadar rapih, penggunaan kawat gigi juga dimaksudkan untuk memperbaiki posisi gigi dalam fungsi pengunyahan makanan, memperbaiki penampilan wajah dan juga memperbaiki masalah lingual (seperti kesulitan dalam pengucapan huruf ‘s’) karena gigi depan bagian atas tidak mengatup sempurna dengan bagian bawah (bahasa kerennya: open bite). Penggunaan kawat gigi juga berhubungan dengan kesehatan; di mana gigi yang berjejal akan menyulitkan pembersihan plak dan sisa makanan, sehingga meningkatkan resiko terjadinya gigi berlubang dan peradangan gusi.
Maraknya tren penggunaan kawat gigi dan ditambah oleh ketidaktahuan masyarakat awam membuat banyak orang ‘berani’ mempertaruhkan aset tubuh yang tak tergantikan itu dengan mempercayakan pemasangan behel pada sembarang orang(ingat, gigi orang dewasa yang telah tanggal atau rusak tidak akan tergantikan oleh gigi baru). Tren pemakaian behel yang dikaitkan juga dengan gaya hidup dan fashion membuat banyak orang nekat memakai walau sebenarnya tidak memerlukannya. Lebih gawat lagi, sebagian di antara mereka malah nekat memasang di tempat yang asal murah yang penting gaya!
Secara mekanika, penggunakan kawat gigi pasti akan dapat menggeser susunan gigi yang ada sekarang. Gigi geligi yang ada akan dipaksa mengikuti lengkungan kurva kawat gigi yang tentunya berbentuk ideal. Masalahnya, apakah si pemasang memiliki cukup ilmu terkait (termasuk mekanika) untuk menentukan arah pergeseran yang benar dan pas.
Pada pemasangan kawat gigi yang dilakukan oleh orang yang telah cukup ilmunya, susunan gigi bisa dibuat rapih tidak hanya karena susunannya pada arah bersebelahan, tapi juga tinggi rendahnya gigi yang satu dengan lainnya. Kesalahan arah gerak bracket misalnya bisa saja membuat gigi seri Anda tidak sama tinggi rendah-nya! Sebuah kasus tragis yang pernah dijumpai pada seorang pasien yang ingin pasang ulang kawat gigi adalah kenyataan bahwa ternyata giginya pernah ‘dipaksa’ rata tingginya dengan cara dikikir! Percaya atau tidak, konon dia sebelumnya memasang kawat gigi pada seorang dokter gigi (yang pasti bukan Sp.Ort… karena tidak mungkin hal seperti itu dilakukan oleh orthodontist). Dengan kegilaan semacam itu, sebenarnya lebih meyakinkan kalau dia mengaku bahwa yang pasang adalah ahli gigi di pinggir jalan.
Kembali lagi ke soal perlu tidaknya ada gigi yang dicabut dalam proses perawatan orthodonti. Jika memang dari pemeriksaan visual terlihat tidak ada ruang gerak tersisa untuk merapihkan susunan gigi, memang seorang ahli orthodonti akan melakukan proses ekstraksi (bahasa kerennya untuk pencabutan gigi). Kodratnya, yang akan dicabut adalah gigi geraham kecil yang terdepan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan orthodonti tidak hanya asal terlihat rapih, tapi juga gigi berfungsi secara sempurna untuk mengunyah makanan. Jangan lupa, gigi juga harus simetris. Pada prakteknya tidak selalu pula gigi harus dicabut di kedua sisi, kanan dan kiri. Untuk kasus tertentu dengan lengkung gigi asimetris perlu dilakukan pencabutan gigi hanya pada satu sisi. Yang penting hasil akhirnya nanti gigi harus jadi simetris. Kadangkala ada pasien ‘bandel’ yang menolak untuk dicabut giginya, padahal orthodontist menyatakan bahwa ada giginya yang harus dicabut. Untuk yang ‘bandel’ seperti ini ya siap-siap saja giginya ngga akan benar-benar ‘beres’. Kembali ke gambar di atas, pada contoh kasus gigi dalam gambar tersebut sangat mungkin non-orthodontist akan mencabut gigi lain (bukan yang ditunjuk oleh tanda panah merah) untuk mempermudah pekerjaan yang mereka lakukan. Padahal gigi yang mungkin dicabut tersebut adalah gigi seri atau gigi taring!
Cerita soal perlu tidaknya pencabutan gigi ini, ada sebuah kasus menarik. Mungkin karena tingkat kesulitan kasus gigi yang dimiliki oleh pasien, atau karena mau ambil mudahnya saja, ada seorang pasien yang dicabut gigi taringnya!!! Sengaja saya kasih tanda seru tiga.. Fungsi gigi taring adalah fungsi yang tak tergantikan. Gigi taring digunakan untuk mengoyak makanan. Jadi kalau gigi taring dicabut, tentu pasien akan mengalami masalah waktu makan. Minimal waktu harus mengoyak makanan dia hanya bisa menggunakan sebelah gigi taring yang masih lengkap (di sebelah kiri saja atau sebelah kanan saja). Celakanya, setelah susunan gigi dianggap rapih, orang yang melakukan perawatan gigi pasien ini melakukan aksi ‘sulap’ dengan mengikir gigi geraham kecil bagian depan untuk menggantikan gigi taring! Prosedur semacam itu tidak akan pernah terjadi jika yang melakukan adalah orang yang mengerti fungsi masing-masing gigi dan mengerti apa yang harus dilakukan dalam proses perawatan orthodonti yang benar. “Perawatan gigi yang salah bisa menyebabkan fungsi gigi rusak dan masalah itu biasanya baru bisa dirasakan setelah sekian lama memakai kawat gigi”, ujar Prof. Dr. Eky Soeria Soemantri, Sp.Ort, dokter ahli orthodonti dan dosen di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Perawatan orthodonti tidak hanya sekedar membuat gigi asal rapih demi estetika, tapi juga harus dapat memperbaiki fungsi kunyah. Perawatan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami ilmu orthodonti dapat memperbaiki kesalahan bentuk/posisi rahang. Perbaikan dari susunan gigi dan rahang juga akan mempengaruhi bentuk wajah secara keseluruhan. Tanpa ilmu yang benar, bisa saja dokter gigi atau tukang gigi malah membuat wajah Anda menjadi aneh! Mereka yang tidak mengerti ilmu orthodonti (atau hanya mengetahui sepotong-sepotong) paling top hanya akan dapat membuat gigi pasien terlihat rapih, tapi belum tentu pas posisinya untuk menggigit antara gigi atas dan gigi bawah. Lebih celaka lagi, bisa membuat wajah pasien berubah ke arah yang tidak diharapkan (kalau ngga mau disebut malah jadi makin jelek..).
Seseorang yang telah berpredikat dokter gigi dan ingin melanjutkan pendidikan menjadi dokter gigi spesialis orthodonti akan menghabiskan waktu sedikitnya 3 (tiga) tahun untuk belajar mengenai ilmu orthodonti saja. Sedangkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan spesialis orthodonti hanya berkesempatan mengenal ilmu orthodonti sekilas waktu kuliah. Itu pun perlu dicatat bahwa mereka hanya mempelajari penggunaan alat orthodonti lepasan, tidak diajarkan mengenai perawatan orthodonti menggunakan alat orthodonti cekat alias behel.
Seorang tukang gigi (istilahnya techneker) di pinggir jalan yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan formal sebagai seorang dokter gigi. Bayangkan saja, seseorang yang lulus pendidikan sarjana pada Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi saja tidak langsung berpredikat sebagai dokter atau dokter gigi. Mereka harus melewati fase untuk mendapatkan status profesi tersebut. Nah, apa pun alasannya, walau katanya si tukang gigi sudah pernah belajar tentang kawat gigi dan sebagainya, tetap saja dia tidak berhak secara keilmuan dan profesi untuk berpraktek sebagai orthodontist. Hal serupa juga untuk dokter gigi yang tidak mendalami orthodonti pada program pendidikan dokter gigi spesialis orthodonti.
Nah selanjutnya tinggal dicerna oleh calon pengguna bracket, pasang kawat gigi dengan dokter gigi non spesialis orthodonti saja sangat tidak dianjurkan, bagaimana dengan praktek “ahli gigi” yang sekarang marak. Sebagian masyarakat yang ngga tahu menahu soal perawatan orthodonti dengan baik banyak yang menganggap remeh masalah ini. Penggunaan alat-alat kedokteran gigi yang tidak memenuhi standar kesehatan tentunya akan berbahaya bagi kesehatan pasien.
Asal tahu saja, dokter gigi beresiko tertular penyakit dari pasiennya, setidaknya bisa melalui air liur atau darah yang keluar dari gusi pasien. Untuk meminimalisir resiko tersebut dokter gigi wajib menggunakan sarung tangan. Sarung tangan ini hanya boleh digunakan sekali untuk 1 pasien. Artinya, tiap ganti pasien dokter harus ganti sarung tangan. Tujuannya agar jangan sampai virus yang mungkin dibawa oleh pasien sebelumnya tertular ke pasien berikutnya gara-gara si dokter tidak ganti sarung tangan. Begitu juga dengan alat-alat kedokteran gigi yang dipakai. Semua harus disterilisasi menggunakan alat sterilisasi khusus, sebelum boleh dipakai pada pasien lain. Nah, dari hal yang sepertinya kecil ini saja silahkan dibayangkan apa yang akan terjadi jika peralatan orthodonti yang digunakan oleh tukang gigi tanpa proses sterilisasi tiap kali ganti pasien? Alat-alat tersebut dicuci di air yang mengalir setiap kali ganti pasien saja sudah bagus. Walau jelas itu saja tidak cukup. Soal sarung tangan, jangan harap tukang gigi pakai. Kalau pun pakai, sangat mungkin satu sarung tangan dipakai berpuluh kali. Kenapa? Bayangkan saja jika sekali perawatan kawat gigi di tukang gigi pasien hanya diminta bayar RP 30.000, komponen sarung tangan saja sudah ‘memotong’ budget sebesar Rp 5.000! Hitungan ekonomisnya ngga masuk
Baru dari sudut pandang kemungkinan terpapar penyakit (termasuk HIV/AIDS lho!!) resiko yang dihadapi oleh pasien tukang gigi saja sudah berat. Apalagi ditinjau dari berbagai resiko kesalahan prosedur pemasangan dan perawatan orthodonti yang dilakukan tanpa pengetahuan memadai.
Maraknya tren penggunaan kawat gigi dan ditambah oleh ketidaktahuan masyarakat awam membuat banyak orang ‘berani’ mempertaruhkan aset tubuh yang tak tergantikan itu dengan mempercayakan pemasangan behel pada sembarang orang(ingat, gigi orang dewasa yang telah tanggal atau rusak tidak akan tergantikan oleh gigi baru). Tren pemakaian behel yang dikaitkan juga dengan gaya hidup dan fashion membuat banyak orang nekat memakai walau sebenarnya tidak memerlukannya. Lebih gawat lagi, sebagian di antara mereka malah nekat memasang di tempat yang asal murah yang penting gaya!
Secara mekanika, penggunakan kawat gigi pasti akan dapat menggeser susunan gigi yang ada sekarang. Gigi geligi yang ada akan dipaksa mengikuti lengkungan kurva kawat gigi yang tentunya berbentuk ideal. Masalahnya, apakah si pemasang memiliki cukup ilmu terkait (termasuk mekanika) untuk menentukan arah pergeseran yang benar dan pas.
Pada pemasangan kawat gigi yang dilakukan oleh orang yang telah cukup ilmunya, susunan gigi bisa dibuat rapih tidak hanya karena susunannya pada arah bersebelahan, tapi juga tinggi rendahnya gigi yang satu dengan lainnya. Kesalahan arah gerak bracket misalnya bisa saja membuat gigi seri Anda tidak sama tinggi rendah-nya! Sebuah kasus tragis yang pernah dijumpai pada seorang pasien yang ingin pasang ulang kawat gigi adalah kenyataan bahwa ternyata giginya pernah ‘dipaksa’ rata tingginya dengan cara dikikir! Percaya atau tidak, konon dia sebelumnya memasang kawat gigi pada seorang dokter gigi (yang pasti bukan Sp.Ort… karena tidak mungkin hal seperti itu dilakukan oleh orthodontist). Dengan kegilaan semacam itu, sebenarnya lebih meyakinkan kalau dia mengaku bahwa yang pasang adalah ahli gigi di pinggir jalan.
Kembali lagi ke soal perlu tidaknya ada gigi yang dicabut dalam proses perawatan orthodonti. Jika memang dari pemeriksaan visual terlihat tidak ada ruang gerak tersisa untuk merapihkan susunan gigi, memang seorang ahli orthodonti akan melakukan proses ekstraksi (bahasa kerennya untuk pencabutan gigi). Kodratnya, yang akan dicabut adalah gigi geraham kecil yang terdepan. Hasil akhir yang diharapkan dari perawatan orthodonti tidak hanya asal terlihat rapih, tapi juga gigi berfungsi secara sempurna untuk mengunyah makanan. Jangan lupa, gigi juga harus simetris. Pada prakteknya tidak selalu pula gigi harus dicabut di kedua sisi, kanan dan kiri. Untuk kasus tertentu dengan lengkung gigi asimetris perlu dilakukan pencabutan gigi hanya pada satu sisi. Yang penting hasil akhirnya nanti gigi harus jadi simetris. Kadangkala ada pasien ‘bandel’ yang menolak untuk dicabut giginya, padahal orthodontist menyatakan bahwa ada giginya yang harus dicabut. Untuk yang ‘bandel’ seperti ini ya siap-siap saja giginya ngga akan benar-benar ‘beres’. Kembali ke gambar di atas, pada contoh kasus gigi dalam gambar tersebut sangat mungkin non-orthodontist akan mencabut gigi lain (bukan yang ditunjuk oleh tanda panah merah) untuk mempermudah pekerjaan yang mereka lakukan. Padahal gigi yang mungkin dicabut tersebut adalah gigi seri atau gigi taring!
Cerita soal perlu tidaknya pencabutan gigi ini, ada sebuah kasus menarik. Mungkin karena tingkat kesulitan kasus gigi yang dimiliki oleh pasien, atau karena mau ambil mudahnya saja, ada seorang pasien yang dicabut gigi taringnya!!! Sengaja saya kasih tanda seru tiga.. Fungsi gigi taring adalah fungsi yang tak tergantikan. Gigi taring digunakan untuk mengoyak makanan. Jadi kalau gigi taring dicabut, tentu pasien akan mengalami masalah waktu makan. Minimal waktu harus mengoyak makanan dia hanya bisa menggunakan sebelah gigi taring yang masih lengkap (di sebelah kiri saja atau sebelah kanan saja). Celakanya, setelah susunan gigi dianggap rapih, orang yang melakukan perawatan gigi pasien ini melakukan aksi ‘sulap’ dengan mengikir gigi geraham kecil bagian depan untuk menggantikan gigi taring! Prosedur semacam itu tidak akan pernah terjadi jika yang melakukan adalah orang yang mengerti fungsi masing-masing gigi dan mengerti apa yang harus dilakukan dalam proses perawatan orthodonti yang benar. “Perawatan gigi yang salah bisa menyebabkan fungsi gigi rusak dan masalah itu biasanya baru bisa dirasakan setelah sekian lama memakai kawat gigi”, ujar Prof. Dr. Eky Soeria Soemantri, Sp.Ort, dokter ahli orthodonti dan dosen di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Kesimpulan
Penggunaan kawat gigi ngga hanya sekedar soal fashion atau gaya-gayaan… Ngga juga sekedar asal rapih. Rapih saja tidak cukup. Gigi harus bisa berfungsi untuk mengunyah dengan sempurna. Gigi atas harus bertemu dan menggigit dengan baik bersama gigi bawah. Kelainan pada gigitan (istilah kerennya maloklusi) bisa diakibatkan karena susunan gigi yang berantakan, atau karena kesalahan bentuk rahang, atau kombinasi keduanya.Perawatan orthodonti tidak hanya sekedar membuat gigi asal rapih demi estetika, tapi juga harus dapat memperbaiki fungsi kunyah. Perawatan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami ilmu orthodonti dapat memperbaiki kesalahan bentuk/posisi rahang. Perbaikan dari susunan gigi dan rahang juga akan mempengaruhi bentuk wajah secara keseluruhan. Tanpa ilmu yang benar, bisa saja dokter gigi atau tukang gigi malah membuat wajah Anda menjadi aneh! Mereka yang tidak mengerti ilmu orthodonti (atau hanya mengetahui sepotong-sepotong) paling top hanya akan dapat membuat gigi pasien terlihat rapih, tapi belum tentu pas posisinya untuk menggigit antara gigi atas dan gigi bawah. Lebih celaka lagi, bisa membuat wajah pasien berubah ke arah yang tidak diharapkan (kalau ngga mau disebut malah jadi makin jelek..).
Seseorang yang telah berpredikat dokter gigi dan ingin melanjutkan pendidikan menjadi dokter gigi spesialis orthodonti akan menghabiskan waktu sedikitnya 3 (tiga) tahun untuk belajar mengenai ilmu orthodonti saja. Sedangkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan spesialis orthodonti hanya berkesempatan mengenal ilmu orthodonti sekilas waktu kuliah. Itu pun perlu dicatat bahwa mereka hanya mempelajari penggunaan alat orthodonti lepasan, tidak diajarkan mengenai perawatan orthodonti menggunakan alat orthodonti cekat alias behel.
Seorang tukang gigi (istilahnya techneker) di pinggir jalan yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan formal sebagai seorang dokter gigi. Bayangkan saja, seseorang yang lulus pendidikan sarjana pada Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi saja tidak langsung berpredikat sebagai dokter atau dokter gigi. Mereka harus melewati fase untuk mendapatkan status profesi tersebut. Nah, apa pun alasannya, walau katanya si tukang gigi sudah pernah belajar tentang kawat gigi dan sebagainya, tetap saja dia tidak berhak secara keilmuan dan profesi untuk berpraktek sebagai orthodontist. Hal serupa juga untuk dokter gigi yang tidak mendalami orthodonti pada program pendidikan dokter gigi spesialis orthodonti.
Asal tahu saja, dokter gigi beresiko tertular penyakit dari pasiennya, setidaknya bisa melalui air liur atau darah yang keluar dari gusi pasien. Untuk meminimalisir resiko tersebut dokter gigi wajib menggunakan sarung tangan. Sarung tangan ini hanya boleh digunakan sekali untuk 1 pasien. Artinya, tiap ganti pasien dokter harus ganti sarung tangan. Tujuannya agar jangan sampai virus yang mungkin dibawa oleh pasien sebelumnya tertular ke pasien berikutnya gara-gara si dokter tidak ganti sarung tangan. Begitu juga dengan alat-alat kedokteran gigi yang dipakai. Semua harus disterilisasi menggunakan alat sterilisasi khusus, sebelum boleh dipakai pada pasien lain. Nah, dari hal yang sepertinya kecil ini saja silahkan dibayangkan apa yang akan terjadi jika peralatan orthodonti yang digunakan oleh tukang gigi tanpa proses sterilisasi tiap kali ganti pasien? Alat-alat tersebut dicuci di air yang mengalir setiap kali ganti pasien saja sudah bagus. Walau jelas itu saja tidak cukup. Soal sarung tangan, jangan harap tukang gigi pakai. Kalau pun pakai, sangat mungkin satu sarung tangan dipakai berpuluh kali. Kenapa? Bayangkan saja jika sekali perawatan kawat gigi di tukang gigi pasien hanya diminta bayar RP 30.000, komponen sarung tangan saja sudah ‘memotong’ budget sebesar Rp 5.000! Hitungan ekonomisnya ngga masuk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar